Mungkin dia bisa saja menulis buku seperti Matt Bissonnette, mantan anggota Navy Seal. Seusai misi Osama di Abbottabad, Pakistan, Matt langsung menulis buku “No Easy Day”. Tetapi atas dasar kode etik profesi, si penembak dan beberapa anggota Navy Seal lainnya lebih memilih jalur lain. Si penembak dan beberapa orang rekannya sempat berencana mendirikan sebuah perusahaan yang akan membantu transisi mereka dari hidup militer ke kehidupan sipil.
Dia sempat menawarkan diri sebagai konsultan untuk Electronic Arts, perusahaan video game yang mengembangkan permainan perang seperti Medal of Honor: Warfighter. Tetapi sekali lagi atas dasar kode etik kerahasiaan, rencana itupun gagal.
Saat ini dengan penderitaannya, dengan badan penuh luka perang, daging dan otot yang terkoyak, sendi-sendi yang terluka, dan tulang yang tak sekuat dahulu, dia harus menghadapi kenyataan betapa "kerasnya" kehidupan sipil.
Navy Seal (viva) |
Departemen Pertahanan Amerika pernah menyarankan agar dia masuk ke program perlindungan saksi. Tetapi, jika dia masuk program itu, maka dia akan kehilangan keluarganya, segalanya.
“Komando Seal pernah menawarkan saya pekerjaan menjadi sopir truk di Milwaukee dengan identitas yang baru. Tetapi, hidup saya akan seperti informan mafia, saya tidak bisa menghubungi keluarga atau teman-teman saya. Saya akan kehilangan segalanya,” ujar si penembak.
Dengan kapasitasnya sebagai eks angkatan bersenjata yang dibekali pelatihan bertahun-tahun senilai jutaan dolar, langkah logis bagi para veteran perang adalah menjadi konsultan perusahaan keamanan swasta. Tetapi si penembak sudah tidak ingin lagi mengangkat senjata.
Seperti dalam kisah film, para regu tembak ini ibarat Retired Extremely Dangerous, yang mana teror kematian pada dirinya siap menghantuinya sewaktu-waktu. Kematian dua orang kontraktor perusahaan keamanan swasta, yang juga mantan anggota Navy Seal dan rekan si penembak, di Benghazi membuat dia tersadar bahwa perang akan selalu menghantuinya. (tams/esquire/cir/b1)
hidupnya suram
BalasHapus