Paus Benediktus XVI (Reuters) |
Sebelumnya Ratzinger tak ubahnya laki-laki biasa. Dia masih sempat menikmati lezatnya daging dan lembutnya kentang. Dia menguasai banyak bahasa dunia dan sangat menyukai musik gubahan Mozart dan Beethoven. Dalam musik dia juga seorang pianis yang andal.
Sisi kemanusiannya itu semakin nampak saat Senin (11/2) lalu, saat Vatikan mengumumkan bahwa dia akan mengundurkan diri di akhir bulan ini dengan alasan usianya yang sudah tua. Langkah ini menjadikannya sebagai paus pertama yang mundur sepanjang hampir 600 tahun.
Sejarah mencatat paus terakhir yang mengundurkan diri adalah Paus Gregorius XII pada 1415. Tapi saat itu Paus Gregorius mundur menyusul kesepakatan untuk mengakhiri perpecahan di kalangan gereja Katolik terkait klaim perihal kepausan.
Paus lainnya yang mundur adalah Paus Celestinus V. Dia mundur pada 1296 setelah memimpin Gereja Katolik selama hanya lima bulan.
Paus Tertua Dan Mantan Tentara Nazi Yang Anti Marxis
Paus Benediktus XVI terpilih sebagai pemimpin umat Katolik sedunia pada April 2005, setelah meninggalnya Paus Yohanes Paulus II. Saat itu usianya 78 tahun, menjadikannya sebagai salah satu paus tertua dalam sejarah ketika dipilih.
Dia merupakan warga Jerman kedelapan yang menjadi paus. Sejatinya PB XVI sudah ingin pensiun ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal pada 2005. Profesor yang mahir bermain piano itu mengatakan, dia tak pernah ingin menjadi paus dalam hidupnya.
Sebelum naik ke takhta kepausan, dia telah menjadi tokoh penting di Vatikan selama 24 tahun. Dia memimpin apa yang disebut the Congregation for the Doctrine of the Faith.
Paus Benediktus XVI lahir di lingkungan keluarga petani di Marktl am Inn, Jerman tenggara dekat perbatasan Austria, pada 16 April 1927. Ayahnya, Joseph Ratzinger, seorang polisi. Masa kecilnya dihabiskan di tengah masa-masa sulit Jerman. Menjelang remaja, saat berusia 14 tahun, dia harus bergabung dengan pasukan gerakan Pemuda Hitler (Hitlerjugend), satu hal yang bertolak belakang dari keinginannya.
Hitlerjugend (istimewa) |
Dalam memoirnya, pria yang memiliki nama asli Joseph Ratzinger itu menyatakan dia sempat keluar dari organisasi itu tak lama setelah bergabung lantaran belajar tentang kependetaan. Namun itu tak berlangsung lama. Pada 1943, ketika Perang Dunia II meletus, masa belajarnya di seminari Traunstein terganggu karena dia harus mengikuti wajib militer.
Menjelang berakhirnya PD II, dia desersi dari keanggotan Divisi ke-12 SS-Hitlerjugend. Dia sempat ditahan sebagai tawanan perang oleh pasukan sekutu pada tahun 1945.
(militariabids) |
Pada Juni 1945, Ratzinger dibebaskan dari kamp tahanan perang POW (Prisoner Of War). Dan sejak itulah hidupnya berubah. Dia belajar filosofi dan teologi di University of Munich dan sejumlah perguruan tinggi lain di Freising antara tahun 1946 dan 1951 dan dua tahun kemudian dia meraih gelar doktor teologi.
Ratzinger kemudian mengajar di Universitas Bonn pada tahun 1959. Tujuh tahun kemudian dia telah mengajar teologi dogmatik di empat universitas di Jerman.
“Buku adalah sahabat terbaiknya,’’ ujar John Allen analis CNN untuk Vatikan.
Saat itu dia merasa tak senang dengan maraknya Marxisme di kalangan para mahasiswanya. Dalam pandangannya, agama telah direndahkan di bawah ideologi politik yang dianggapnya bersifat tirani, brutal dan jahat.
Di kemudian hari dia menjadi pendukung penting dalam melawan teologi kebebasan, gerakan yang melibatkan Gereja dalam aktivisme sosial, yang menurut dia tak banyak beda dengan Marxisme.
Pada tahun 1977 Ratzinger diangkat menjadi Kardinal dan Uskup Agung Muenchen oleh Paus Paulus VI. Dia memiliki reputasi sebagai penganut teologi konservatif, yang berpendirian keras terhadap homoseksualitas, pengangkatan pendeta wanita, dan kontrasepsi. Karena itulah dia dikenal sebagai “Cardinal No”.
Tema utama kepausannya adalah pembelaan terhadap nilai-nilai dasar Kristiani dalam menghadapi apa yang dipandangnya sebagai kemerosotan moral di sebagian besar kawasan Eropa.
Oleh mereka yang mengenalnya, Paus Benediktus digambarkan sebagai orang yang lemah lembut dan bermoral kuat. Bahkan ada seorang kardinal yang menyebutnya pemalu tetapi keras kepala.
Gonjang-ganjing.
Masa kepemimpinan Paus Benediktus XVI diwarnai dengan badai yang menghantam Gereja Katolik. Berbagai tuduhan, kasus hukum, dan laporan tentang pencabulan anak mencapai puncaknya pada tahun 2009 dan 2010.
Sementara beberapa tokoh senior di Vatikan pada awalnya menanggapi dengan menyerang media atau menuduh adanya persekongkolan anti-Katolik, Paus Benediktus berkeras bahwa Gereja harus menerima tanggung jawabnya, seraya merujuk apa yang disebutnya dosa di dalam Gereja.
Tanggung jawab itu dia wujudkan dengan menemui para korban dan meminta maaf kepada mereka. Dia menegaskan bahwa para uskup harus melaporkan bila terjadi pelecehan. Dia juga memperkenalkan aturan baru yang mempercepat pemecatan para pendeta yang diketahui melakukan pelecehan.
Namun cara paus dalam menangani skandal pencabulan anak-anak di lingkungan gereja mendapat kecaman pedas dari kalangan pers sekuler.
Kardinal Cormac Murphy OConnor, mantan kepala Gereja Anglikan di England dan Wales, menyebut Paus Benediktus sangat sopan dan memiliki banyak bakat, tetapi tidak dalam urusan administrasi.
Bocornya dokumen yang mengungkap soal korupsi dan mismanagemen di dalam Vatikan menjadi salah satu buktinya. Peristiwa yang membuat salah satu pembantu dekatnya dihukum itu menimbulkan kesan bahwa tengah terjadi pertarungan kekuatan di kepausan.
Kunjungan Paus Ke Palestina
Paus Benediktus XVI mengisi kunjungan hari keduanya ke wilayah Palestina dan Israel dengan mengunjungi Masjidil Aqsa, pada bulan Mei 2009. Dia menjadi Paus pertama yang berkunjung ke tempat yang dianggap suci oleh umat muslim, Yahudi, maupun Kristen.
Benediktus disambut Mufti Agung Jerusalem Mohammad Mohammad Hussein di pintu masuk Masjidil Aqsa. Paus kelahiran Jerman itu melepaskan sepatunya sesuai dengan tradisi Islam ketika memasuki sebuah tempat suci.
Bersama Mufti Agung, Paus menngingatkan kembali akan adanya persamaan mendasar antartiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Kristen) dalam kisah Ibrahim dan Jerusalem.
Usai memasuki Masjidil Aqsa, pemimpin Vatikan itu juga mengunjungi Tembok Ratapan. Di salah satu tempat tersuci Yahudi itu, Paus memanjatkan doa selama beberapa menit. Tembok Ratapan merupakan kompleks kuil era Romawi tempat Yesus Kristus melakukan santapan terakhir sebelum disalib.
Di tembok itu Paus menuliskan doa. Setelah itu, dia bertemu dengan dua pemimpin rabi Yahudi.
’’Kirimkan kedamaian-Mu pada Tanah Suci, Timur Tengah, dan semua umat manusia,’’ demikian doa Paus.
Orang Israel Tak Puas
Paus memulai kunjungannya ke Israel Senin lalu dengan mengeluarkan pernyataan bahwa sikap anti-Yahudi atau anti-semit tidak bisa ditoleransi. Dalam kesempatan itu dia juga menyuarakan dukungan kepada rakyat Palestina untuk mendapatkan wilayah mereka.
Seruan Paus yang mendesak dunia untuk menghapuskan sikap anti-semit di seluruh dunia diperkirakan akan membuat senang Israel sebagai tuan rumah kunjungannya kali ini.
Kendati demikian, banyak kalangan tidak puas karena Paus tidak mengecam keras Nazi. Dalam sebuah wawancara radio, ketua parlemen Israel Reuven Rivlin, mengkritik Paus.
’’Dia datang dan berkata pada kami seolah dia seorang sejarawan, seseorang yang melihat dari berbagai sudut, tentang sesuatu yang semestinya tidak terjadi. Dan apa yang bisa Anda lakukan? Dia adalah bagian dari mereka,’’ kata Rivlin.
Paus mengunjungi monumen Yad Vahshem, Senin lalu, guna memberi penghormatan pada enam juta korban pembantaian Yahudi di Eropa. Kala itu dia menyebut peristiwa pembantaian itu sebagai tragedi mengerikan Shoah.
’’Shoah’’ adalah istilah Ibrani yang berarti holocaus. Menurut sejumlah pemimpin Yahudi, sebagai warga Jerman dan pemeluk Kristen, Paus mestinya meminta maaf atas genosida tersebut.
Paus Benediktus menghabiskan masa kecilnya di Jerman kala pemerintah Nazi berkuasa. Paus mengaku pernah bergabung dengan gerakan muda pendukung Hitler (Hitlerjugend), namun hanya karena terpaksa.
(tams/cnn/bbc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar