Mbakyu aku tak metu sek yo. Tunggu neng kene wae yo.
KALAU teriakan itu muncul di lingkungan masyarakat pedesaan di Jawa Tengah atau Jawa Timur, sepertinya wajar saja. Tapi itu menjadi tak lazim karena terjadi di press room tempat penyelenggaraan Shell Advance Malaysian Motorcycle Grand Prix di Sepang, Malaysia (sirkuit yang menjadi lintasan terakhir bagi Marco Simoncelli).
Teriakan itu mengundang tawa jurnalis yang berada di tempat itu yang rata-rata dari Eropa ataupun Jepang meski mungkin tidak tahu artinya. Salah satu wartawan Tribunnews Eko Sutriyanto jadi satu-satunya jurnalis asal Indonesia saat itu yang kebetulan sedang meliput kematian Simoncelli di Sirkuit MotoGP sepang, Malaysia.
Teriakan bahasa Jawa ngoko (kasar) itu belakangan diucapkan Lilik, perempuan yang asli warga Bandung terhadap teman sekerjanya Anik, yang asli Lumajang Jawa Timur.
Mendengar teriakan sesama asal Indonesia, Eko mendekati Anik yang tengah menyapu lantai di ruangan pressroom yang berukuran 20X20 meter itu. Dengan bahasa Jawa ngoko, Anik pun membeberkan tentang dirinya yang mungkin menjadi potret pahlawan devisa Indonesia.
Wanita asal Lumajang Jawa Timur ini beralasan susahnya mencari pekerjaan di Indonesia sebagai alasan untuk tetap kerja di Malaysia. Kalau bisa memilih bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik berada di Indonesia.
"Mana bisa saya bisa kerja mas, lha wong saya tidak berpendidikan. Kalau mengandalkan suami. Tidak bisa cukup. Makanya kami kerja untuk mencukupi kebutuhan anak di kampung," ucapnya.
Diakuinya sebulan terakhir ini bekerja di Sepang setelah setahun menjalani kehidupan di kampung halaman. Puas bersama dengan anak, ia pun kembali ke Malaysia.
Lalu bagaimana dengan penghasilan?
"Di sini sistem gajinya tetap kok. Sebulan 700 ringgit. Kerja dari jam 07.00 sampai jam 17.00 sore. Kalau ada event biasanya mendapatkan tambahan 200 ringgit. Istilahnya uang lemburnya," ungkapnya.
Jika dirupiahkan penghasilan yang diperoleh antara Rp 1,9 juta-2,5 juta. Toh, hasil hitungan besar, bukan berarti mampu mencukupi kebutuhan yang layak.
"Walaupun suamiku juga kerja di proyek di sini masih pas-pasan untuk makan dan kebutuhan anak di Indonesia. Tidak bisa mendapatkan tabungan yang lebih," ungkapnya.
Adakah keinginan pulang kampung? "Selalu ada. Kalau bisa dengan mudah dapat pekerjaan ya pilih di Indonesia. Tapi di sana susah cari kerjaan buat saya yang pendidikannya rendah," ungkapnya.
Pun demikian dengan Lilik. Wanita kurus tinggi berusia sekitar 20-tahunan itu memutuskan merantau untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada perasaan takut bagi keduanya untuk bekerja di tengah pasang surut hubungan Indonesia-Malayasia ini. "Kalau berangkatnya resmi tidak masalah. Yang sering bermasalah yang ilegal," ungkapnya. (tams/ tribun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar