Jakarta, LP -- Suara adzan subuh baru saja berkumandang ketika ratusan pasukan Belanda sudah mengepung Desa Rawagede. Hari itu, Selasa, 9 Desember 1947, pukul 04.00 WIB, di bawah pimpinan Mayor Alphons Wijman, sekitar 300 tentara Belanda mengeledah rumah warga. Mereka mencari pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario.
Sejumlah veteran perang berziarah di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga, Monumen Rawa Gede, Karawang, Jabar. TEMPO/Subekti
Mayor Wijman mendengar bahwa Lukas berada di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Desa ini—kini berubah nama menjadi Balongsari—terletak di Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, sekitar 15 kilometer arah timur laut dari ibu kota Kabupaten.
Rumah-rumah digeledah, namun yang dicari tidak ada. Pasukan Mayor Wijman memerintahkan penduduk laki-laki berkumpul di tanah lapang untuk ditanya mengenai keberadaan Lukas.
Karena tak satu pun penduduk yang memberitahu di mana Lukas, Wijman memerintahkan pasukannya menembak. Lasmi, 83 tahun, kepada
wartawan menuturkan, ia mendengar para lelaki itu berjejer. “Lalu terdengar
tekdung, tekdung, bunyi senapan dikokang, kemudian ditembakkan.”
Lasmi melihat suaminya mati terkapar dengan peluru bersarang di leher. Ini membuat kandungannya yang berumur tujuh bulan keguguran.
Setelah itu, Lasmi mendengar tembakan mortir.
Woss...jegur. Saat itu, para perempuan memilih tiarap di tempat tidur. “
Rame pisan tembakan. Canon--mortir ya, kata yang
tau canon--mortir.
Wos-wos..., dari atas.
Jegor!” begitu ujar Cawi binti Baisan, janda korban Rawagede yang saat itu berumur 22 tahun.
Ada enam kali tembakan mortir. Menurut laporan Wijman, 12 kiriman mortir itu membakar delapan sampai 10 rumah. Wijnen juga menyebut, saat ia menyerang, nyaris tiada perlawanan. Tembakan mortirnya cuma sempat dibalas sekelompok pria tanpa seragam satu-dua kali dengan karabin. Halangan utama pasukannya yang tengah mengarah ke barat justru tanah berlumpur yang licin.
Wijman mengatakan pasukannya hanya berkekuatan 90 personel, diperkuat dengan 2 mortir kaliber 2. Oleh Wijman, pasukan dibagi menjadi tiga grup. Masing-masing berkekuatan 30 orang. Rawagede dikepung dari tiga jurusan: utara, timur, dan selatan.
Pasukan utara dipimpin dua sersannya. Pasukan itu diperkuat satu bren. Pasukan selatan dipimpin seorang sersan mayor. Mereka juga dibekali satu bren. Wijman sendiri memimpin kelompok yang bertugas mengepung kampung dari arah timur. Dibantu dua perwira, grupnya diperkuat sten dan 2 mortir 2.
Seluruh operasi itu selesai pukul 13.00. Namun versi lain dari Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, operasi itu berlangsung hingga pukul 16.00.
Cawi, 84 tahun, janda korban pembantaian malah berkukuh tragedi itu terjadi menjelang magrib. Ia mengaku keluar pukul 17.00 WIB bersama perempuan-perempuan lainnya mencari suami dan orang tua mereka yang sudah ditemukan bergelimpangan di rumah dan jalanan.
Cawi tak mengetahui bagaimana suami dan tetangganya dieksekusi. Ia--seperti para perempuan lainnya--bersembunyi di dalam rumah. Adapun para pria memilih kabur ke luar kampung atau bersembunyi di sungai atau di kolam, seperti Siot, ayah Kadun.
Kadun saat itu berusia 10 tahun. Ia melihat bagaimana ayahnya bersembunyi di sungai dekat rumah. “Mukanya
diurugin (ditutup) sampah. Tak terlihat oleh Belanda,” ujarnya.
"Tapi Belanda bawa anjing dan anjing itu menggonggong terus. Lama-lama, tempat sembunyi ayah disogok-sogok bayonet," kata Kadun. Ayah Kadun akhirnya muncul dari tumpukan sampah. "Ia dibawa Belanda. Sejak itu, ia tak pernah kembali."
Menurut Sukarman, Belanda melakukan eksekusi dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri dari setiap lelaki yang berumur di atas 14 tahun. Masing-masing kelompok terdiri dari 10-30 orang. "Masing-masing kelompok warga yang dikumpulkan oleh pasukan Belanda saat itu tidak saling mengetahui kalau telah terjadi pembantaian. Karena mereka dikumpulkan secara terpisah," ujarnya.
Menurut data Yayasan Rawagede, jumlah warga yang menjadi korban sekitar 431 korban. Tapi, menurut Wijnen, pihaknya cuma menembak mati 150 orang. Penembakan itu bukan tanpa sebab. "Sangat mungkin, karena terprovokasi pihak lain, sejumlah yang tak bersalah jadi korban."
Apa yang terjadi Selasa pagi itu membuat Rawagede bersimbah darah. “Kali Rawagede merah oleh darah. Mayat bergelimpangan,” kata Kadun. “Di mana-mana menangis, meratap, dan meratap.”
Sepanjang tiga hari setelah peristiwa pembantaian itu, kata Kadun, para ibu di Rawagede mencari suami dan anak lelaki mereka. Sejak itu, tak ada lagi lelaki di kampung itu. Mereka—para perempuan itu—bahu-membahu menggotong dan mengubur jenazah.
Dengan alat seadanya—cangkul, golok, dan sendok semen—ibu-ibu itu menggali lubang sedalam sekitar satu meter untuk mengubur jenazah di pekarangan rumah masing-masing.
Sejak operasi itu, Rawagede tak sama lagi. Cuma dalam 6 jam (versi Belanda) atau 12 jam (versi keluarga korban), Rawagede menjadi kampung janda. Baru bertahun-tahun kemudian, kampung itu kembali memiliki lelaki dewasa.
Alasan Belanda Melakukan Operasi Pembantaian
Cawi binti Baisa berdoa di makam suaminya di taman makam pahlawan Rawagede, Jawa Barat. AP/Achmad Ibrahim
Tangsi Belanda, Karawang, di awal Desember 1947. Komandan Kompi Karawang, Mayor Alphons Wijman, memperhatikan laporan tentang Rawagede dari jaringan mata-matanya. Mereka melapor, di kampung berpenduduk tak lebih dari 500 orang itu, ada tentara Indonesia dengan kekuatan 40 sampai 60 senapan dan satu senjata mesin.
Sudah sebulan Wijman mengawasi Rawagede--kini bagian dari Desa Balongsari. Pedukuhan itu disebut sebagai zona terpanas di distriknya, Karawang. Sejak direbut Belanda, Karawang, kawasan seluas 1000 meter persegi, tak pernah sungguh-sungguh takluk.
Wijman pusing. Aksi bajak kereta uap trayek Krawang-Rengas Dengklok dikeler 10 orang bersenjata. Jaraknya setengah mil dari Stasiun Rawagede. Juru mesin, juru api, dan sekitar 20 awak kereta disandera. Tiga yang berhasil kabur. Ini adalah satu dari sekian aksi yang diduga Belanda bahwa pelakunya adalah tentara Indonesia yang beroperasi tanpa seragam.
Membaca gerakan, Wijman memutuskan aksi "pembersihan". Bala bantuan dikirimkan dari Batalion Infanteri 3 dan Resimen Infantri 9 (Cikampek), Brigade Infanteri 2 (Purwakarta), dan Divisi 7 Desember yang bermarkas di Bandung. Hari operasi ditetapkan: Selasa, 9 Desember 1947, pukul 5.30 pagi.
Namun, operasi itu sempat bocor. Adalah Dajat, warga Kampung Bubulak--12 kilometer dari Rawagede—tertangkap warga Rawagede. Dajat diperintah ayahnya menyelidiki Rawagede. Tanu, ayah Dajat adalah bintara polisi yang belakangan jadi asisten wedana dan dikenal warga sebagai
cuak (mata-mata) Belanda.
Lepas Ashar, lima hari sebelum operasi berlangsung, Dajat dicokok warga dan digebuki. Bakal dihukum penggal, Dajat sukses melarikan diri malam harinya. Ia pun melapor ke ayahnya, juga Kalim. Kalim adalah
cuak kolega Tanu yang bekerja sebagai detektif polisi Belanda. Keduanya lalu melapor ke Markas Belanda di Krawang.
Kisah penangkapan Dajat ini belakangan diungkap Dr J. Leimena, Ketua Komite Khusus Republik Indonesia untuk Tragedi Rawa Gede. Leimena mengirimkan kronologis tragedi Rawa Gede dalam suratnya ke Tim Jasa Baik PBB pada 3 Januari 1948. Disebutkan pula, operasi militer Belanda di Rawagede berpokok dari laporan mata-mata mereka yang tertangkap rakyat Rawagede, namun berhasil meloloskan diri.
Boleh jadi, Belanda memang sudah geregetan dengan kawasan ini. Tim Jasa Baik PBB, dalam laporan investigasinya menyebut, “ Oleh Belanda, Rawagede dianggap sebagai markas besar gerombolan bersenjata dan Lurah Rawagede adalah salah satu otaknya," begitu tulis PBB.
Posisi Rawagede memang strategis. Terletak 25 kilometer dari Alun-alun Karawang, kawasan ini dilintasi jalur kereta api Karawang-Cikampek-Rengasdengklok. Rengasdengklok sendiri adalah salah satu gudang senjata dan material Jepang. Di sana, ada bekas markas pasukan Pembela Tanah Air (Peta).
Syahdan, bukan lantaran posisinya saja yang strategis Rawagede bisa jadi basis pejuang Indonesia di kawasan seputar Batavia. Kisah perlawanan pejuang Rawagede juga sudah popular saat itu.
"Tentara Belanda sejak masuk ke Karawang tak pernah berani ke Rawagede” kata Sa’ih, mantan pejuang yang tinggal di Rawagede. “ Beberapa kali Belanda masuk Rawagede, tapi selalu digempur sehingga mereka pulang lagi ke markas,"
Tapi juga lantaran para tentara Indonesia dan para pejuang itu di bawah komando Kapten Lukas Sutaryo. Lukas--lelaki yang dijuluki begundal Karawang-Bekasi--itu memang bikin gerah Belanda lantaran aksi penyerangan pasukan laskar pimpinan kapten berani mati itu.
Lukas dikenal bermata jeli bagai elang dan licin bagai belut. Ia dikenal selalu lolos dalam penyergapan. Letnan Dua Purnawirawan Soepangkat--salah satu anak buahnya--bertutur, Lukas punya kehebatan bertempur jarak dekat. Komandannya itu suka menyerang konvoi militer dan markas pertahanan Belanda di daerah perbatasan Jakarta-Jawa Barat.
Kepiawaian Lukas membuat Belanda menjadikannya musuh nomor satu di kawasan Jawa Barat. Militer Belanda menawarkan hadiah 10 gulden bagi siapa saja yang bisa menangkap Lukas dalam keadaan hidup dan mati.
Lukas sendiri tinggal di Rawagede. Kawasan ini, menurut Soepangat, tak hanya basis, tapi juga lintasan pejuang revolusi kemerdekaan. Tak heran juga, Belanda mencari Lukas di sana. " Ada info Lukas berada di Rawagede. Karena Belanda mencari Lukas tak ketemu, desa itu jadi sasaran."
Namun, hari-hari menjelang itu, Lukas sedang perang gerilya ke Markas Belanda di Pabuaran, Pamanukan, Subang hingga CIkampek.
Sehari sebelum operasi berlangsung, Lukas sempat pulang ke Rawagede. Ia juga sedang diuber pasukan NICA. Sukarman, salah satu anak buahnya yang masih hidup bertutur, Lukas masuk Rawagede hari Senin, jam 07.00 pagi, tanggal 8 Desember 1947. “ Tapi ia tidak lama” ujarnya.
Pukul 15.00 WIB, Lukas dan pasukannya bergerak menyerang Markas Belanda di Cililitan. Lukas bahkan tak tahu Rawagede dibantai Belanda yang sedang mencarinya.
Hanya satu jam setelah Lukas pergi dari Rawagede, Mayor Wijman dan pasukannya membawa kendaraan tempur menuju kampung itu.
(tams/ tempo)