Seperti buruh dalam pabrik, aku hanya bisa mendengarkan deru mesin yang tak pernah berhenti di depan sebuah pekarangan taman beton. Lalu lalang tanpa henti, sepertinya mereka sedang terburu – buru. Sepertinya kecepatanku harus kuperlambat karena aku berjalan di antara sisi yang tersendiri. Mereka mengeroyok, beruntun, berduyun seperti pasukan air dari langit saat merindukan tanah yang terkadang terisi saat tanah tak haus lagi.
Kemana aku harus merindu bisa bergumul seperti mereka? Hanya balutan akordion, sayatan dawai biola bahkan terkadang hanya sekumpulan lirik – lirik psikis yang terkikis pada otak yang gupis. Seandainya Jakarta bisa kurubah menjadi Abingdon, Oxfordshire atau mungkin sekumpulan kota kecil di Celtic. Setidaknya aku bisa menggubah pemikiran mereka dan dia yang sedang kalut. Bait – bait ketenangan menjadi simponi yang akan termaktub di dalam otak hatinya dan mereka. Ada intonasi rendah saat mereka mulai berkenalan dengan udara pagi agar mereka dan dia sabar dan tenang menjalani hari. Dan di malam hari sudah tersaji simponi dengan intonasi tingi dengan tutur santun agar mereka dan dia semangat menjalani mimpi yang harus dibeli di esok harinya.
Heem, tapi sepertinya Jakarta masih beramarah, masih bergemuruh seperti di tempat yang jauh di sana. Dan sepertinya tak ada tempat untukku menyendiri, setidaknya untuk mendengarkan guratan akordion dan biola. Tak ada tempat lagi dilorong – lorong kota ini, atau mungkin dari sebuah bangunan yang mungkin bisa membangun. Dari sekumpulan mahluk yang berderajat hingga barikade tikus got yang mengerat, semua membaur. Pandanganku masih riuh, telingaku masih bergemuruh tetapi langkahku masih tersendiri di antara jamaah yang sedang menuntut nasibnya.
Masih di malam ini, bulir – bulir neon kecil di atas sana melekat pada layar hitam nan lapuk. Seandainya bisa kupetik satu neon itu untuk kutaruh dalam kamarku yang temaram. Aaaarrrggghh…. Jakarta hanya membuatku mengkhayal. Gila juga aku, di tempat dimana tekanan berkumpul aku masih bisa berandai – andai. Sebegitu hebat kota ini, aku pernah dan mungkin sedang merasa lapang tanpa gurat dan sendiri.
Jakarta, seandainya kamu sedang sendiri kabari aku. Akan kuajak bercengkrama di Abingdon, Oxfordshire, Celtic atau kalau perlu belantara Irlandia. Aku akan jaga semua kebaikan itu walau tersendiri hingga suatu saat nanti dalam jamuan dua cangkir teh manis hangat ditemani butiran almond dalam obrolan kita.
“Where do you’ll go, I’ll follow you…….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar