Jumat, 30 September 2011
SOSOK -- Sopir Taksi Itu Ternyata Mantan Atlet Nasional
Tapi pencak silat memang tak bisa dilepaskan dari hidupnya. Pada peringatan Hari Olahraga Nasional 2011, pemerintah memberi Marina penghargaan berupa rumah. Penghargaan itu sangat disyukurinya. Sehingga ia tak perlu menumpang lagi di rumah keluarganya.
Kini Marina bertekad mewariskan kemampuannya berpencak silat kepada sanak keluarganya. Ia berharap warisan yang ditinggalkan bisa kembali mengukir prestasi demi mengharumkan nama Indonesia (tam/L6sctv)
Courtessy by: sctv
SOSOK -- Demi Tugas Polantas Rela Menjadi 'Kuli' Bangunan
Namun kala itu Kamis, (15/9/2011), Polisi Lalu Lintas (Polantas) 'beralih' profesi sejenak menjadi kuli bangunan. "Tadi sore, lalu lintas jalan alternatif menuju Pelabuhan Merak sangat padat. Macet hingga 4 km," kata Kapolres Cilegon, AKBP Umar Surya Fana dalam perbincangan via Blackberry Mesengger kepada media saat itu.
Kemacetan ini dipicu pembetonan separuh badan jalan sepanjang 300 meter di perempatan Gerem, Jalan Raya Cilegon-Merak. Sayangnya, diujung jalan, beton tidak diberi tanjakkan landai. Sehingga kendaraan tidak bisa melewati beton yang telah kering itu. Tak ayal, lalu lintas pun harus berjalan bak kura-kura.
"Awalnya pakai sistem buka tutup jalan. Tapi kemacetan tidak kunjung mencair," kisah AKBP Umar.
Ditengah kekacauan arus lalu lintas inilah, Polantas segera menggulung lengan baju lalu mengambil sekop. Sedangkan lainnya dengan tangan kosong memindahankan beton keras untuk membuat jalan landai.
"Sama anggota BM, Briptu Putut diuruk dengan sisa tanah sekitar," beber AKBP Umar.
Lantas anggota lainnya, Kanit Dikyasa Polres Cilegon, Ipda Ugum dan Kanit Sabhara Iptu Suhara ikut menggulung baju dan membawa sisa pecahan beton untuk membuat jalan landai.
"Tak berapa lama, kendaraan bisa melintasi 2 jalur tersebut. Akhirnya lalu lintas pun terurai lancar," tuntas AKBP Umar. Semoga apa yang dilakukan Briptu Putut dapat ditiru Briptu - briptu atau anggota lainnya, dimana polisi benar - benar mengabdi pada masyarakat. (tam/ detik)
NASIONAL -- Duta Wisata Dengan Tubuh Tertinggi di Indonesia
"Harapan saya dunia kepariwisataan Lampung ke depan makin maju," kata Suparwono di Banarlampung, Kamis, ketika ditanya soal akan segera digelarnya rangkaian kalender tetap kepariwisataan nasional Festival Krakatau 2011 tersebut.
Pria yang mengaku lahir di Pagelaran, Kabupaten Tanggamus, Povinsi Lampung (kini Pringsewu) 4 November 1985 itu mengatakan, setelah dirinya `dinobatkan` sebagai "Duta Wisata Lampung" oleh Gubernur Lampung Sjachroedin ZP sejak tahun 2009, siap menyukseskan ajang kepariwisataan Lampung, termasuk Festival Krakatau.
"Saya dijadikan Duta Wisata Lampung sejak tahun 2009, dan selalu siap untuk membantu semua pihak untuk turut memajukan kepariwisataan Lampung," katanya.
Suparwono, yang selalu merendah dan mengaku kini menjadi pengangguran itu tinggal di Desa Trituggal Jaya, Kecamatan Gunung Agung, Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubabar), Provinsi Lampung.
Namun ketika dimintai identitas seperti kartu nama oleh simpatisannya, "Si Jangkung" Lampung itu berseloroh tidak punya.
"Jangankan kartu nama, KTP saja saya nggak punya, Ha ha ha..." katanya tertawa lebar sambil membetulkan posisi ujung celana panjangnya.
Guna menjalankan tugasnya sebagai "Duta Wisata Lampung" itu, Suparwono juga telah mendapat bantuan sebuah mobil operasional khusus yang didesain sesuai dengan ukuran postur tubuhnya untuk mobilitas dirinya.
Mobil bak terbuka warna biru itu dilengkapi pula tulisan "Suparwono" di bagian belakang, dan tulisan "Duta Wisata" di kedua pintu kanan dan kirinya.
Saat duduk, berjalan, turun, dan akan naik ke mobilnya, dia selalu menjadi pusat perhatian warga, dan kebanyakan dari mereka langsung mengajak berfoto bersamanya dengan beragai ekspresi, baik melalui kamera maupun telepon genggam, dan Suparwono pun nampak selalu melayaninya secara bergantian dengan senang hati.
Ketika dikonfirmasi tentang tinggi badannya, Suparwono beberapa kali menyebutkan bahwa tingginya 242 cm, dan dia mengklaim merupakan manusia tertinggi nomor dua di dunia setelah manusia tertinggi di dunia berasal dari negara Turki, namun dia tidak menyebutkan nama dan tinggi badan warga asal Turki itu.
Duta Wisata Lampung Suparwono, pekan lalu juga diudang khusus oleh Gubernur Lampung Sjachroedin ZP untuk hadir dan memeriahkan acara Halalbihalal Idul Fitri 1432 H/2011 M di jajaran pejabat Eselon II, III, dan IV Pemdaprov Lampung di Gedung Mahan Agung, (Rumah Dinas Gubernur Lampung), dan Halalbihalal gubernur Lampung dengan sekitar 5.000 PNS di jajaran Pemdaprov Lampung.
Pada kesempatan itu Suparwono diberi kesempatan duduk di panggung tamu utama sejajar dengan pejabat eselon II dan III Pemda Provinsi Lampung.
Bahkan, setelah acara usai, dia "diserbu" penggemar termasuk Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, Anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Fokorpimda) Lampung, Wagub Lampung, MS Joko Umar Said, Sekdaprov Lampung, Berlian Tihang, para pejabat, PNS, termasuk wartawan untuk berfoto bersama. (tam/ ant)
Rabu, 21 September 2011
FILM: Inilah Film Indonesia Pertama Yang Tembus Bioskop AS
Produser film The Raid Ario Sagantoro yang dihubungi media, Rabu (21/9/2011), sempat tidak percaya film yang dibintangi Iko Uwais itu mendapat sambutan penonton. Bahkan sampai berhasil memikat Sony Pictures.
"Sebenarnya film ini juga ikut di festival Cannes, Prancis. Cuma saat itu finishing-nya belum selesai. Kita cuma kirim adegan-adegannya dan ternyata menarik distributor Sony Pictures," urainya.
Diceritakan lelaki yang akrab disapa Toro itu, kemenangan The Raid di festival Toronto diraih melalui kategori The Cadillac People's Choice Midnight Madness Award dan diumumkan pada Minggu 18 September 2011.
"Jadi film kita ini menjadi opening film Midnight Madness weekend. Dan setelah diumumkan pemenangnya, The Raid menjadi film pilihan penonton yang paling banyak ditonton. Itu apresisinya luar biasa. Banyak diperbincangkan media luar negeri," tuturnya bangga.
Film ini, diungkapkan Toro, sangat berbeda dari film action Amerika pada umumnya. The Raid unggul karena memamerkan keindahan koreografi silat yang dibuat sesempurna mungkin.
"Tidak ada fight cut cepat, benar-benar fight bebas. Karena kita ingin intensitas yang kita bangun begitu agresif. Mulai dari opening 100 menit tidak ada nafas buat penonton karena film ini fight-nya hidup atau mati. Kalau film Merantau kan kalah atau atau menang," tandasnya. (tams/ okz)
FEATURE: Perjalanan Mudik - Sambung Menyambung Menjadi Satu
Mudik merupakan tradisi wajib hampir bagi seluruh perantau yang memiliki kampung halaman. Mudik diambil dari kata “Udik” yang berarti kampung, atau orang Jawa biasa menyebut mudik sebagai mulih ning udik yang berarti pulang ke kampung halaman. Tradisi mudik dilakukan orang saat hari – hari besar, khususnya Lebaran atau Idul Fitri. Tidak semua orang yang memiliki kampung halaman menjalankan tradisi tersebut, banyak di antara mereka harus mengubur impiannya untuk pulang ke kampung halamannya karena suat tugas atau kewajiban yang tak bisa ditinggalkan.
Sama halnya dengan saya yang merelakan Lebaran terutama pada saat Sholat Id yang tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Demi tugas kampus untuk menyelesaikan skripsi dan tugas lainnya, saya menunda kepulangan saya menjadi hari Kamis (01/09/2011), atau Lebaran hari ketiga saya. Sebuah kebingungan bagi saya yang statusnya sebagai anak kos karena sulitnya mencari tempat untuk makan, sebab wilayah kos saya yang berada di bilangan Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan sulit untuk mencari tempat makan saat Lebaran. Oleh karena itu saya memutuskan untuk pulang sehari sebelum rencana kepulangan saya pada hari Jum’at.
Kamis siang saya terbangun, setelah semalaman saya begadang dan berkumpul bersama teman – teman. Dan seperti biasa ritual bangun tidur adalah membuka jendela dan saya menyaksikan kondisi sekitar tempat kos saya yang tak seperti biasa. Tak ada derit pintu terbuka di setiap pintu kamar dan tak ada derap langkah kaki di depan kamar saya. Siang sudah menjelang sore, namun saya lupa menegosiasikan isi perut saya hingga terdengar menderit. Setelah mandi saya keluar mencari makan, dan di antara barisan bangunan yang mengatasnamakan rumah makan, hanya satu yang bertuliskan “RM Padang Sabana” yang masih mempersilahkan masuk. Setelah saya makan, tiba – tiba ponsel saya berbunyi dan ada panggilan dari teman saya yang bernama Catur. Kebetulan saat itu dia sedang melaksanakan tugas liputan dan menawari saya untuk melakukan perjalanan ke Bandung. “Tam, gue lagi ngambil kasus 338 nih, abis itu gue mau packing ke Bandung. Kau ikut ya?” Sontak saya kaget mendengar ajakannya. Saya juga mempertanyakan alasan kenapa saya harus ikut ke Bandung, sementara saya harus mudik ke Kebumen, Jawa Tengah. Usut diusut ternyata si Catur ini mendapat cuti liputan hingga hari Minggu dan ingin melakukan perjalanan ke Bandung, Lebakjero hingga ke Jogja. “Tam, kita ke Bandung terus ke Lebakjero motret perkampungan, abis itu ke tempatmu terus ke Jogja deh,” tukasnya dalam rencana perjalanan yang ia inginkan. Spontan saya mengamini niatnya, dan bersiap pulang ke kamar kos untuk mempersiapkan peralatan mudik saya.
Waktu menunjukkan pukul lima sore, dan tak berapa lama Catur menjemput saya. Sore itu saya nampak seperti pasukan Easy Company di film ‘Band of Brothers’ yang akan dikirim ke Normandia, dengan tas punggung menggunung dan tas tergantung di badan. Setelah selesai berkemas saya dibawa Catur ke kediamannya untuk mengambil barang bawaannya.
Rencana perjalanan awal adalah menggunakan Kereta Api (KA), Serayu kelas Ekonomi trayek Jakarta Kota hingga Kroya dengan jadwal pemberangkatan pukul 20.30 WIB. Sekira habis Maghrib kami menuju Stasiun Jatinegara untuk menaiki KA. Commuter menuju Stasiun Jakarta Kota. Setengah jam sebelum keberangkatan kami kehabisan tiket, padahal Idul Fitri sudah berselang beberapa hari. Peraturan PT. KA Indonesia yang baru membuat beberapa pemudik masih tertahan di beberapa stasiun yang berada di Jakarta terutama untuk kelas Ekonomi. Tahun lalu ada prinsip bagi pemudik yaitu ‘yang penting badan kebawa’, maksudnya para pemudik tak mempedulikan kenyamanan, keselamatan dalam transportasi mudiknya. Sungguh sangat miris, tak peduli mau berdesak – desakkan, naik di depan lokomotif atau sambungan gerbong, bagi pemudik yang penting mereka sampai tujuan. Namun tidak dengan mudik tahun 2011 kali ini, pemerintah melalui Dinas Perhubungan bersama PT. KAI menerapkan peraturan baru yaitu maksimal penumpang kelas Eksekutif seratus persen, kelas Bisnis 120 %, kelas Ekonomi 150 %. Jadi tak ada lagi istilah berjubel – jubel naik kereta api terutama kelas Ekonomi. Imbasnya banyak calon pemudik berebut mendapatkan tiket bahkan mereka rela menidurkan dirinya bahkan keluarganya di emperan stasiun untuk mengantri tiket esok harinya. Karena selain itu, PT KAI juga menindak tegas bagi penumpang yang kedapatan tak memiliki tiket, baik itu penumpang sipil atau militer.
Kami berduapun hampir putus asa dan merencanakan untuk kembali ke rumah Catur. Namun sungguh sangat memalukan jika kita sudah membawa barang banyak tiba – tiba tak jadi berangkat. Sebatang rokok habis terbakar akhirnya kami memutuskan kembali ke Stasiun Jatinegara dan menanyakan tiket KA. Argo Parahyangan dengan pemberangkatan pukul 20.45 WIB. Kami tiba di Stasiun Jatinegara pukul 20.30 WIB, langsung saja saya memberi komando pada Catur untuk membeli tiket, dan saya menunggu di lobi stasiun. Akhirnya Catur kembali dengan tampang kecut, jawaban yang sama didapati, “Tiket habis,” katanya. Suara mesin disel lokomotif terdengar dari lobi stasiun seiring seorang pria memberi informasi di pengeras suara, “Perhatikan dari arah barat segera masuk di jalur satu KA. Argo Parahyangan tujuan Bandung,” nada sang informan stasiun. Antara niat dan tidak niat saya datangi loket kembali untuk memastikan tiket dan ternyata masih tersisa dua tempat duduk untuk kelas Eksekutif. Setelah transaksi selesai, dengan kocar – kacir kami lari menuju pintu peron. Sesampai peron kami mencari gerbong yang dimaksud sesuai dengan tiket, dan saat di dalam kami temui petugas keamanan, TNI/ Polri bersama kondektur sedang menyidak gerbong yang kami tumpangi dari penumpang liar. Setelah barang – barang dinaikkan ke bagasi akhirnya kami menikmati perjalanan yang cukup melelahkan dan berakhir dengan kursi yang bisa direbahkan dengan hembusan air conditoning, dan senyum pramugari yang cantik meski ada lelah pula di wajahnya.
Sesuai jadwal tiba pukul 23.46 WIB kami sudah tiba di Stasiun Bandung, dan kami merencanakan untuk melanjutkan perjalanan di Stasiun Kiaracondong menggunakan KA. Ekonomi menuju Lebakjero. Keluar dari Stasiun Bandung beberapa sopir taksi menghampiri kami dengan senyum yang terkesan tawar menawar. Sudah tak ada angkot, dan mau tidak mau kami harus naik taksi untuk menuju Stasiun Kiaracondong. Jaraknya tak seberapa, kata teman saya yang berdomisili di Bandung, jarak antara Stasiun Bandung ke Kiaracondong sekitar dua kilometer. Namun alangkah terkejutnya saat pertanyaan berapa ongkos tersebut ke salah satu sopir taksi, dan ia jawab dengan vonis harga yang mahal. Jarak dua kilometer harus kami bayar senilai Rp. 50.000. Heeeemm, ternyata di Bandung ini saya tak menemukan taksi berargo dan yang ada hanya taksi argo tembak. Setelah tawar menawar harga pas, akhirnya sopir taksi mengalah dengan tarif kesepakatan bersama yaitu Rp. 30.000 untuk jarak dua kilometer. Dan hati – hati beberapa sopir taksi tidak menepati janji, katanya kami mau di antar hingga halaman stasiun, tetapi hanya sampai pintu masuk. Alasannya mereka ogah merogoh kocek lagi untuk membayar parkir, padahal tarif kesepakatan kami diantar hingga pelataran.
Suasana di Stasiun Kiaracondong hampir mirip dengan Stasiun Jakarta Kota. Hamparan jasad yang tak sadar sudah terhampar di depan loket yang sudah tutup. Sejumlah pengumuman tentang tiket kereta yang sudah habis terjual terpampang di dinding loket. Dan mau tidak mau kamipun turut menghamparkan diri di pintu masuk stasiun. Menemani malam, bijih hitam yang diracik sempurna dalam gelas menemani daun kering yang tersulut menggantikan dinginnya kota Bandung. Satu jam berselang, temanku Catur tak sanggup menahan serangan letih dan kantuk yang sudah memborbardir ubun – ubunnya hingga telapak kakinya. Waktu telah melewati pukul dua dini hari, suasana dingin semakin terasa meski tak sedingin belantara hutan Bastogne. Sepertinya saya lupa cara untuk tidur, bahkan saya cemburu pada mereka yang bisa lelap dan nyenyak. Ada beberapa juga yang terjaga, mereka usir kantuk dengan mengobrol, ada yang mendengarkan musik di ponsel mereka dan ada pula membaca koran yang sudah basi berganti hari.
Waktu menjelang pagi, dan kamipun tetap tidak mendapatkan tiket KA yang kami maksud. Daripada kami mengulur waktu, kami putuskan untuk kembali ke Stasiun Bandung dengan menggunakan taksi dengan tarif yang sama. Sesampai di Stasiun Bandung, saya putuskan untuk membeli tiket pulang ke kampung halaman saya di Kebumen, Jawa Tengah. Berbeda dengan suasana di Stasiun Kiaracondong, di Stasiun Bandung tak ada antrian tiket, tak ada kehabisan tiket. Akhirnya saya membeli satu tiket kelas Bisnis, KA. Lodaya tujuan Bandung – Solo, dan Catur hendak berpisah melanjutkan misinya hunting foto ke Subang dengan menggunakan KA. Lokal.
Namun pikiran Catur berubah, akhir dia membeli tiket yang sama dengan saya dan berencana untuk ikut mudik dengan saya. Pukul delapan pagi KA kamipun meninggalkan Bandung. Dan ternyata jalur KA Bandung Selatan lebih menarik daripada jalur KA Purwokerto. Lewati gunung dan lembah sayapun tak mau rugi menggadangkan mata dan mengabadikan dengan kamera dekat pintu bordes kereta, walaupun semalaman saya belum tertidur. Jajaran besi panjang meliuk dan mengular di antara pematang sawah. Bocah – bocah kecil melambaikan tangan saat kereta melintasi menjadi suguhan seperti video berjalan. Udara pegunungan masih terasa menemani laju roda kereta yang terdengar sangat metronom. Saat KA melintasi Nagreg dengan jembatan yang eksotis dan pemandangan jurang beserta jalan raya terhampar di bawahnya, seperti terbang bersama helikopter tanpa pintu. Setelah turun gunung dan memasuki wilayah Tasikmalaya, KA kamipun berhenti silang dengan KA. Argo Wilis di Stasiun Banjar. Di pemberhentian itu, geliat ekonomi mulai memecah keheningan penumpang yang mulai kegerahan. Teriakan susu, kopi, air dalam kemasan bahkan makanan terdengar dari luar gerbong. Setelah KA meninggalkan Stasiun Banjar, kami kembali ke tempat duduk. Suasana pemandangan sudah tak begitu menarik, hanya bentaran sawah gersang yang luas seperti tanpa kehidupan. Selain itu sisa tenaga semalam karena belum tidur ditambah hembusan angin siang membuat saya menutup kelopak mata.
Waktu menunjukkan hampir jam satu siang dan posisi KA sudah mendekati Maos menuju Kroya, pertanda bahwa tujuanku untuk Kebumen sudah hampir sampai. Jarak Kroya ke Kebumen jika ditempuh dengan KA hanya setengah jam. Segera bangun dari tidur sesaat lalu membasuh wajah di toilet kereta. Pukul satu 13.30 WIB kereta kami tiba di Stasiun Kebumen. Dari puluhan tukang ojek menanti, akhirnya aku mengenali sosok yang menjemputku dan di sana sudah ada adik dan pamanku yang menjemput. Dari perjalanan itu, meski kami harus menyambung tapi kami punya satu tujuan yaitu jalan – jalan tambah pengalaman. Seperti gerbong kereta sambung menyambung menjadi satu rangkaian sebuah perjalanan. (tam)
Kamis, 01 September 2011
Nasional - Daftar Kampus Para Presiden RI
JAKARTA, (LP) - Seorang pemimpin dapat menjadi teladan bagi anak buahnya. Terutama para presiden Indonesia dengan segala usahanya untuk memajukan nusantara di tingkat dunia.
Segala tindakan dan upaya yang mereka lakukan demi kemajuan bangsa, tidak terlepas dari pendidikan yang mereka dapatkan sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Kali ini, kamu akan diajak secara khusus untuk mengenal lebih dekat masa kuliah orang nomor satu di Indonesia ini.
1. Soekarno
Presiden pertama Indonesia ini meraih gelar Insinyur (Ir) dari Technische Hoge School yang kini bernama Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1926 silam.
2. Soeharto
Pria yang menjabat sebagai presiden RI selama 31 tahun ini mengawali pendidikannya di SD Desa Puluhan ketika usianya delapan tahun. Kemudian, dia dipindahkan ke SD Pedes Yogyakarta.
Setelah lulus Sekolah Rendah (SR) selama empat tahun, ayah dari enam orang anak ini melanjutkan sekolah ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Namun, di usianya yang menginjak 14 tahun, dia melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah Yogyakrta.
Pria yang mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 tersebut tidak pernah melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi lantaran orangtuanya tidak memiliki biaya. Lantas, pada 1940, Soeharto melanjutkan pendidikannya di bidang kemiliteran. Pria yang tutp usia pada 27 Januari 2008 ini pun resmi bergabung dengan TNI pada 5 Oktober 1945.
3. BJ Habibie
Presiden dengan masa jabatan tersingkat ini mengenyam pendidikan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, baru satu tahun menempuh pendidikan di kampus tersebut, dia melanjutkan pendidikannya ke Technische Hochschule, Jerman.
Pria kelahiran Pare-Pare, 25 Juni 1936 ini pun mendapatkan gelar Diploma dan Doktor dari institusi tersebut pada 1960 dan 1965.
Penerima penghargaan Theodore van Karman Award ini, mendalami kuliah bidang konstruksi pesawat terbang dan meraih predikat Summa Cum Laude. Mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi (Ristek) ini pun dinobatkan sebagai Guru Besar (Gubes) di ITB pada 1967.
4. Abdurrahman Wahid
Pria kelahiran Jombang, 4 Agustus 1940 ini mengawali pendidikan tingginya di Al-Azhar University, Kairo, Mesir melalui program beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Agama RI pada 1964 hingga 1966.
Tidak puas dengan metode pendidikan yang diajarkan universitas Al-Azhar, Gus Dur sapaan akrab ayah empat orang putri ini kemudian melanjutkan pendidikan ke Universitas Baghdad, Irak. Mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab ini, berhasil meraih gelar sarjana pada 1970.
Gusdur pun berniat melanjutkan studinya ke Universitas Leiden, Belanda. Sayangnya, pendidikannya selama di Universitas Baghdad kurang diakui oleh Negara Tulip tersebut.
5. Megawati Soekarnoputri
Satu-satunya presiden wanita di Indonesia ini merupakan mahasiswi Universitas Padjajaran (Bandung) dalam bidang pertanian. Namun, karena kondisi politik saat itu tidak kondusif, maka keluarga presiden (Soekarno) harus diungsikan. Hal ini mengakibatkan pendidikan wanita kelahiran Yogyakarta, 23 Januari 1947 ini terpaksa terhenti.
Megawati pun kembali melanjutkan pendidikannya ke Universitas Indonesia (UI) dengan mengambil jurusan Psikologi. Namun, pendidikannya kali ini pun juga tidak selesai.
6. Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
Pria kelahiran Pacitan, 9 September 1949 ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup panjang mulai dari dalam maupun luar nageri, yakni :
- Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
- American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
- Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
- Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
- On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
- Jungle Warfare School, Panama, 1983
- Kursus Senjata Antitank di Belgia dan Jerman, 1984
- Kursus Komando Batalyon, 1985
- Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
- Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, AS
- Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
- Doktor dalam bidang Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 2004 (tams/okz)