Kamis, 13 Mei 2010

Segelintir Harapan




“ Tak peduli seberapa pelan langkahmu kau tapakkan, yang penting jangan sekali – kali kau hentikan langkahmu. Dan ingatlah, musuh terbesar dalam hidup adalah dirimu sendiri!”






Siang ini nampak lumayan cerah, kapas – kapas putih berselimut biru langit tertata rapi tanpa setitik noda. Sementara di satu sisi sang mentari menatap angkuh dibaliknya. Dan dibawahnya derap langkah – langkah penghuni bumi seolah – olah tanpa henti menceritakan kesibukan harinya. Dan deru nafas jiwa yang tak akan ada hentinya berharap. Dan semilir angin menandakan nafas bumi yang tak pernah berhenti. Dan kutambatkan pada angin, semoga nafas hatiku terbawa kepada mereka yang merindukan harapan.
Selalu ku jumpai hari dengan segala suasana hati, dan terkadang ku nikmati asa ini untuk diriku sendiri. Terkadang ragam warna terbersit sekilas dari pandanganku dan kusadari itu semua. Dan terkadang semua itu mampu mengobati sedikit luka. Tapi semuanya tidak akan meluruhkan mata hatiku.
Sejenak kupandangi burung gereja yang terbersit dari pandangan mataku dan menelusup dibalik dedaunan. Lalu burung tersebut bergegas menghampiri anaknya dan melantunkan siulan dongeng – dongeng untuk anaknya yang baru bisa kepakkan sayap dengan harapan ia bisa seperti induknya. Sementara itu, angkuhnya mentari mulai jenuh dan redupkan sinarnya. Dan tak kusadari keremangan senja telah meringkas hariku. Aku mencoba bertanya pada sang waktu, “Wahai sang waktu yang telah merampas hidupku. Mengapa engkau selalu melangkah seperti sebuah harapan yang tak tentu arah?” dan sang waktu menjawab, “ Tak peduli seberapa pelan langkahmu kau tapakkan, yang penting jangan sekali – kali kau hentikan langkahmu. Dan ingatlah, musuh terbesar dalam hidup adalah dirimu sendiri!” Sederhana memang, namun membuatku berpikir sejenak.
Dan tak terasa mentari mulai tenggelamkan kelopak matanya dibalik pekatnya senja sore hari. Malam itu tak nampak bintang yang ku pandang, dan aku hanya terkulai letih diatas meja karya mimpiku setelah lelah seharian melukis hidup. Dan seperti biasa tatap mata kosongku, ku sorotkan ke setiap sudut ruangan.
Aku seperti hidup bersama tahanan hati yang terdiam dalam penjara batinku. Dan masih diantara tahanan hati ku termangu. Aku mencoba berteriak namun parau suaraku tak dapat memekakkan telingahati mereka.
Dan aku coba endapkan segala kegalauan, ku pasrah dan diam. Diantara diamku, aku mendengar sesuatu yang berbisik lirih, “Hidup ga harus dimulai dengan senyum dan tawa, ingatlah ketika kau dilahirkan? Engkau hanya bisa menangis.” Aku tersentak dan terbangun dari mimpi sesaatku. Dan aku dapat meringkas jawabnya. Aku sadar bahwa kebahagiaan tidaklah selalu hadir dalam alur kehidupan manusia. Terlalu picik kalau hidup itu akan selalu indah seperti di atas singgasana raja yang bersanding cawan – cawan kristal yang berisi anggur kenikmatan sesaat.
Masih di ruangan ini dengan sejuta penasaran yang ada. Sesekali aku mengintai barisan bintang yang mulai muncul dari balik jendela. Dan lantunan binatang malam yang bernyanyi dibalik kesunyian malam, dan itulah kewajibannya.
Dan kesepian malam ini membaringkan diriku kembali diatas mejak karya mimpiku, yang bertumpuk sejuta harapan dan mimpi – mimpiku. Di dalam ruangan yang berisi sejuta pikiran dan harapan. Dan kurebahkan tubuh yang terasa berat oleh beban – beban hatiku. Dan tak lama peri mimpi seperti mencumbuku hingga aku terbisu, lalu ia mainkan kelopak mataku hingga tertutup sempurna. Dan akupun terlelap dalam mimpi panjang hingga esok pagi yang belum tentu cerah. Namun aku berharap padaNya, semoga harapan akan datang seperti terbitnya mentari pagi, karena hidupku adalah sebuah harapan walau esok belum tentu cerah.( I Think God Can Explain).


(tams)
(310509_10.59pm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar