Kamis, 27 Mei 2010

Wajah Wanita dalam Media Cetak.


Penuh Bedak Tanpa Detak, Belepotan Gincu Tanpa Memacu, “Jangan Beli.” Wajah Wanita dalam Media Cetak.(tams)

Memang sangat mengenaskan nasib perempuan di media massa, bisa dikatakan penuh luka dan tercabik. Mungkin hal itu yang sering didengar pada saat seminar, diskusi dan lain sebagainya yang bertemakan “Wajah Perempuan di Media Cetak.”

Selalu timbul perdebatan klasik jika membicarakan hal tersebut. Mangapa hal itu terjadi? Satu sisi kita bisa melihat dimana banyak pekerja pers masih didominasi kaum pria. Hal tersebut membuat wanita dipandang dengan stereo negative (Baik secara psikologis maupun secara fisik).


Tidak dipungkiri, dari sekian banyak pengasuh media didominasi oleh pria. Dan aktor yang paling penting dalam masalah ini merupakan invisible hand yang merupakan wujud dari orang (entah pria atau wanita), atau mungkin juga berupa ‘benda’ atau pemikiran dibalik layar media tersebut. Dan invisible hand tersebut seperti sebuah stereo negative yang membuat wajah wanita di media massa tidak manusiawi. Ibarat kata wanita sebagai simpul yang luka dan tercabik yang dilahap oleh mata – mata yang lapar.

Ilustrasi

Adegan 1:

Di sebuah rapat redaksi dimana staf – staf redaksi berkumpul (mainstream) tentang media perempuan untuk melakukan evaluasi kerja dan rencana kerja selanjutnya.

(+): Media kita seret di pasaran.

(-): Pantas saja. Covernya jelek. Tidak Eye Catching. Artisnya jelek.

(--): Betul. Kurang seksi dan menantang.

(++): Sebenarnya bukan jelek, hanya sudut pengambilan gambar si model/ artis yang perlu diperbaiki. Coba kalo pengambilannya tidak frontal. Modelnya disuruh menoleh sedikit pasti lebih cantik.

Adegan 2: (Di suasana yang sama di lain waktu)

(+): Nomer depan siapa covernya?

(-): Si A saja, dia kan baru mendapat award atas kerja kerasnya.

(+): Gila kamu. Nggak, dia itu sudah terlalu tua. Mukanya sudah tidak ada manis – manisnya. Kamu mau nomer depan kita anjlok lagi? Yang bener dong kalau kasih usulan.

Catatan: 1. Si (+) atau (-) bisa pria, bisa wanita.

2. Pusatkan pada kata yang dicetak tebal.

Bahasan:

Dari dua ilustrasi di atas dapat direkam dan diambil kesimpulan yang merupakan idealis dari media terhadap perempuan tergantung dari semangat yang mewarnai isi media tersebut. Sebuah sisi dimana wanita didasarkan pada kecantikannya yang cenderung ditempatkan sebagai vulnerable: ditolak – diterima; dipuja – dihina; diatur!

Apa itu cantik? Tidak ada definisi yang universal dan abadi, semuanya tergantung dari nuansa sesaat. Misalnya saat ini, manusia (baik pria atau wanita) oleh suatu kekuasaan yang bergerak di bawah permukaan diarahkan untuk mengidolakan suatu perempuan, sebut saja Cindy Crawford, Madonna, Julia Roberts, Britnet Spears (yang dicap sensual), Demi Moore (yang dicap kasual), Lady Diana (yang dicap lemah lembut dan memiliki senyum manis). Penokohan selebritas asing akhirnya berpengaruh pada wajah media perempuan di negeri ini

Dari ilustrasi tersebut bisa disimpulkan, selain cantik wanita itu harus muda. Bahkan kalau bisa harus perawan (belum menikah). Kalaupun sudah menikah, ia harus memiliki sensasi atau berita khusus (melahirkan, mengandung, bercerai, tersangkut hukum, seksi, tampil mengejutkan).

Tidak percaya? Silakan simak sampul halaman profil media perempuan. Ulasan yang pasti akan muncul mengenai obrolan bagaimana merawat dan memanjakan diri dengan beberapa poin khusus; komentar tentang kekasih idola, cerita bagaimana wanita membagi waktu karir, suami, anak atau pertanyaan sepele, “Bisa masak atau tidak?”

Pada prinsipnya, gambaran tentang wanita dirumuskan dengan 5P: Mahluk yang harus tampil memikat (pigura); pengurus utama rumah tangga (pilar); Objek pemuas lelaki (peraduan); mustahil meninggalkan dapur (pinggan); khawatir tidak diterima pergaulan (pergaulan). Rumus ini dibuat oleh Dr. Thamrin Amal yang meneliti isi empat media di Jakarta.

Ini menjadi “potret” keadaan masyarakat di mana media didagangkan. Tetapi budaya menominalkan segala sesuatu yang berpengaruh pada kelanggengan media yang menampilkan sosok wanita, yang oleh banyak intelektual dikatakan penuh luka.

Dari bahasan ini mungkin timbul pertanyaan, “Kalau begitu media massa (khususnya media massa perempuan) kita hanya bicara keuntungan?” Secara rasional bisa kita jawab, “Ya!”

Terlalu jauh jika media mampu melakukan transformasi sejarah dalam arti memberi kecerahan dengan menampilkan sosok wanita yang utuh.

Faktor invisible hand itu yang membentuk media tersebut. Hal lain adalah wanita menjadi sasaran empuk karena bersifat a – politis (tidak mengandung unsur politik), sehingga dinilai aman.


Sekarang tergantung dari pembacanya, bila memang media cetak itu masih “menjual” bedak tak memberi detak kemajuan, dan masih bergincu tak pernah memacu ke arah pencerahan, "jangan beli." Media itu akan mati dengan sendirinya!

(tams)

2 komentar:

  1. tamsq,,
    tuLisannyaa baguuusss..

    tukeran Link dUumz sama bLog gw,,
    btw,,
    please visit my blog
    http://icha182.wordpress.com/2010/06/20/saling-menghormati-saling-menghargai-dan-saling-mengasihi/

    BalasHapus